Masjid Al Alam terletak di tepi pantai Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Masjid ini seringkali disebut Masjid Si Pitung, Masjid Al Alam 2, dan Masjid Al Auliya. Beberapa catatan sejarah menyebutkan, masjid ini dibangun Fatahillah pada tahun 1527.
Dikisahkan, ketika itu Fatahillah bersama pasukannya yang berasal dari Banten datang ke tepi pantai Marunda untuk menghadang armada Portugis yang akan mendarat di lokasi itu. Selain diiringi pasukannya, Fatahillah juga ditemani beberapa orang Waliyullah yang memiliki karomah tinggi. Tetapi Fatahillah tidak menempatkan pasukannya hanya di satu lokasi. Sebagian pasukannya dikonsentrasikan di beberapa lokasi yang berjauhan. Tujuannya agar mempermudah pengintaian seandainya armada Portugis tidak persis mendarat di Marunda.
Seluruhnya ada 7 lokasi. Tetapi hanya 4 lokasi saja yang hingga kini diketahui keberadaannya, yaitu di kawasan Pasar Baru (sekitar 25 km dari Masjid Al Alam 2), Masjid Al Alam 1 (sekitar 3 km dari Al Alam 2) dan di daerah Bojong (10 km dari Masjid Al Alam 2). Sedangkan Fatahillah bermarkas di Marunda. Fatahillah dikenal pula sebagai pendiri Kota Jakarta. Masjid ini pernah pula dijadikan markas pasukan Mataram sebelum menyerbu Batavia.
Semalam dibangun Manfaat Beratus Tahun
Konon Masjid Al Alam (Al Auliya) Marunda, dibangun hanya dalam tempo semalam. Banyak kisah heroik muncul dari masjid ini, di antaranya Si Pitung.
“MENCARI barokah,” begitulah kata Mulyonorahim, salah satu peziarah saat ditanya tujuannya datang ke Masjid Al Alam Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Lelaki asal Kota Pasuruan Jawa Timur itu sudah dua bulan menetap di Masjid Al Alam. Saat ditemui, ia sedang menata ubin lantai di sebelah kanan Masjid. “Saya berniat lillahi ta’ala membantu,” jawabnya.
Senada dengan Mulyono, beberapa peziarah lainnya seperti Fathoni, Madjid dan Ramli juga berniat mencari barokah dengan banyak melakukan ritual ibadah di Masjid Al Alam. Kedatangan para peziarah yang berasal dari berbagai daerah itu, tidak lepas dari keistimewaan sejarah Masjid Al Alam yang konon dibangun oleh Walisongo. “Masjid ini dibangun Walisongo dengan tempo semalam, saat menempuh perjalanan dari Banten ke Jawa,” kata M. Sambo bin Ishak, wakil ketua Masjid Al Alam. “Karena itu, nama asli masjid ini Al Auliya, masjid yang dibangun para wali Allah,” lanjutnya. Sementara di tempat terpisah, tokoh Betawi, Alwi Shahab, mengatakan bahwa pendiri masjid Al Alam adalah Fatahilah dan pasukannya pada tahun 1527 M, setelah mengalahkan Portugis di Sunda Kelapa. “Ada keyakinan di masyarakat Marunda, bahwa Fatahillah membangun Masjid Al-Alam hanya dalam sehari,” katanya di Kantor Harian Republika.
Meski berbeda pendapat, baik Sambo dan Alwi Shahab mengatakan hal yang sama bahwa Masjid Al Alam dibangun hanya dalam tempo semalam, meski pijakan alasan keduanya berbeda.Berangkat dari tempo pembangunan itu, tidak mengherankan bila masjid yang ukurannya mirip musala itu menjadi istimewa bagi masyarakat Marunda khusunya, dan umat Islam umumnya. Terlebih bila mengingat bahwa Masjid Al Alam juga sarat nilai sejarah perlawanan terhadap penjajah.
Seratus tahun kemudian (1628-1629), lanjut Alwi Shahab, ketika ribuan prajurit Mataram pimpinan Bahurekso menyerang markas VOC (kini gedung museum sejarah Jakarta) para prajurit Islam ini lebih dulu singgah di Marunda untuk mengatur siasat perjuangan.Penuturan Alwi Shahab tersebut, senada dengan penjelasan Sambo tentang lubang kecil berbentuk setengah oval yang terdapat di bagian kiri masjid Al Alam. Menurutnya, lubang tersebut digunakan sebagai pengintaian terhadap bala tentara musuh.
“Tidak hanya tentara Demak, tapi juga Si Pitung, Si Ronda, Si Jampang, Si Mirah dan lainnya pernah bersembunyi di sini dari kejaran Belanda. Mereka bisa selamat karena menurut cerita, bila bersembunyi di Masjid ini mereka tidak akan kelihatan.”
Sementara itu, melihat arsitektur Masjid Al Alam akan mengingatkan pada model Masjid Demak, namun berskala lebih mini—ukurannya 10×10 m2. Atapnya yang berbentuk joglo ditopang oleh 4 pilar bulat “kuntet,” seperti kaki bidak catur. Mihrab yang pas dengan ukuran badan menjorok ke dalam tembok, berada di sebelah kiri mimbar. Uniknya masjid ini berplafon setinggi 2 meter dari lantai dalam. Kemudian, di bagian kiri Masjid, dulunya merupakan kolam yang digunakan untuk mencuci kaki sebelum masuk masjid. Ini mengingatkan pada arsitektur Masjid Agung Banten Lama. Bedanya, kolam di Masjid Agung Banten Lama terletak di bagian depan halaman masjid. “Dulunya di sini memang kolam. Buktinya ada sumur di samping masjid,” kata Sambo sambil menunjuk letak kolam yang saat ini sudah tertutup ubin berwarna merah dan sebuah sumur yang sudah ditutup.Beberapa bagian masjid lainnya masih asli. Di antaranya adalah tembok di ruang utama masjid yang memiliki ketebalan sekira 27 cm dan hiasan jendela yang terdapat di ruang pengimaman. “Itu juga asli, dalamnya terbuat dari batugiok,” lanjutnya. Selain itu, Sambo juga menunjukkan sebuah tongkat yang terukir melingkar seperti ular. Menurutnya, tongkat tersebut cukup istimewa dan hanya dikeluarkan setiap hari Jum’at untuk khutbah. “Tongkat ini datangnya misterius. Tiba-tiba datang kesini lewat air,” katanya.
Saat ini, masjid yang terletak di tepi pantai itu tidak pernah sepi. Selalu diziarahi, terutama setiap malam Jumat Kliwon dengan kegiatan rutin berupa istighosah. Dengan keistimewaan Masjid Al Alam, baik nilai-nilai sejarah perlawanan yang heroik dan karomah para pendirinya, dalam perkembangannya juga membawa manfaat bagi masyarakat sekitar Marunda, baik yang berhubungan dengan nilai-nilai islami maupun rizki. Dengan ramainya para peziarah, masyarakat bisa mengambil keuntungan dengan menjual makanan di sekitar Masjid Al Alam.
Demikianlah keistimewaan masjid Al Alam atau Al Auliyah Marunda. Meski dibangun hanya dalam tempo semalam, tapi manfaatnya terasa beratus tahun.
Sumber:warnaindonesia.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1041:masjid-al-alam-marunda&catid=110:arkeologi-kolonial&Itemid=288
0 komentar:
Posting Komentar