I. Pendahuluan
Syariat Islam merupakan ketentuan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT atas hamba-hamba-Nya yang diturunkan melalui Rasul-Nya, Muhammad SAW, untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri, dan dengan sesamanya.
Islam menuntut setiap manusia bekerja, berusaha mencari rezeki untuk dirinya, keluarganya dan juga untuk kedua orang tuanya yang tidak mampu lagi untuk bekerja. Di samping itu Islam juga menyatakan bahwa sesuatu kerja, usaha, ataupun bisnis yang halal itu adalah merupakan tugas yang diamanahkan oleh Allah kepada seseorang manusia. Maka apabila seseorang itu menjalankan tugasnya ataupun bekerja, dengan sendirinya berarti, bahwa seseorang tersebut sedang menunaikan amanah Allah. Dengan kata-kata lain hamba Allah itu beribadat. Karena tujuan hidup manusia di muka bumi ini tidak lain hanyalah semata mata untuk beribadah pada Allah SWT saja. Sebagaimana Allah SWT sudah memberi aba-aba dengan jelas pada manusia dalam firmanNya:
” Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. 51:56)
Maka menurut Islam setiap kerja yang diredhai oleh Allah dan disertai dengan niat adalah ibadat. Oleh sebab itu setiap insan hendaklah menyadari dan menghayati bahwa setiap kegiatannya menjalankan kerja yang halal adalah wajib baginya dan kegiatannya itu sekiranya dimulai dengan niat, hendaklah dianggap sebagai ibadat. Bahkan Nabi Muhammad S.A.W bersabda:
“Barangsiapa bekerja untuk anak isterinya melalui jalan yang halal, maka bagi mereka pahala seperti orang yang berjihad di jalan Allah.” (Riwayat Al- Bukhari)
Selain dari itu Rasulullah S.A.W. juga bersabda:
“Mencari kerja yang halal itu adalah fardhu selepas fardhu”. (Riwayat Al- Baihaqi)
Dorongan Islam kepada ummatnya untuk berusaha mencari rezeki supaya kehidupan mereka menjadi baik dan menyenangkan. Allah SWT menjadikan langit, bumi, laut dan apa saja untuk kepentingan dan manfaat manusia. Manusia hendaklah mencari rezeki yang halal. Firman Allah dalam surah An-Naba ,78 :10-11 :
“dan Kami jadikan malammu sebagai pakaian”, (QS. 78:10)
Di samping itu kita juga harus mengetahui bahwa setiap tugas atau kerja yang diberi oleh Allah kepada seseorang itu adalah menurut kemampuan orang tsb. Allah SW telah menyebutkan:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan apa yang terdaya olehnya”. (Al-Baqarah : 286)
Ini berarti bahwa tidak ada alasan bagi seseorang pekerja itu untuk mengeluh dan mengatakan bahwa tugasnya terlalu berat dan sukar. Karena si pekerja itu sendirilah yang menginginkan pekerjaan tsb. Disamping itu setiap manusia hendaklah insaf bahwa menurut ajaran Islam setiap kegiatan kita di dunia ini akan diperhitungkan di akhirat nanti sebagaimana firman Allah:
“Tiap-tiap diri bertanggungjawab terhadap apa yang telah diperbuatnya”. (QS. Al-Muddaththir : 38)
Dari beberapa ayat diatas jelaslah bahwa mencari rezki dianjurkan dalam Islam dalam rangka untuk mendapatkan kehidupan yang baik dan layak, sepanjang usaha yang dilakukan orientasinya adalah untuk ibadah pada Allah SWt. Dengan arti kata bahwa apa saja bentuk usaha yang kita lakukan jangan sampai melanggar nilai-nilai Islam, karena kalau terlanggar nilai nilai Islam tsb, dan jangan sampai terlupakan hal hal yang bersifat fardhu, maka ibadah kepada Allah SWT tak akan terpenuhi, sehingga usaha kita itu menjadi sia-sia belaka. Sehingga refleksi akhir dari sebuah ibadah adalah menjadi manusia yang bertakwa hanya kepada Allah SWT.
Dalam keadaan ekonomi semakin sulit manusia berupaya untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan hidup dengan berbagai cara. Beraneka ragam usaha, pekerjaan ataupun bisnis, yang dilakukan manusia pada saat ini dalam upaya untuk mencari rezki, untuk meningkatkan pola hidup, dan bermacam lapangan pekerjaan lainnya. Kita bisa lihat secara nyata dilingkungan kita sendiri, perkembangan bisnis, kerja atau usaha apa saja dilakukan oleh manusia yang penting ada tambahan income keluarga.
Dalam tulisan ini Insha Allah akan dibahas juga secara umum tentang Ibadah menurut Islam, kemudian tentang Fiqh dan syari’at, karena antara usaha, bisnis ataupun pekerjaan yang dilakukan manusia, (yang disebut dengan mu’malah), dengan Fiqh ada satu hubungan yang sangat erat dengan ibadah itu sendiri. Sebagaimana yang sudah tergambar dalam pendahuluan diatas.
II. Ibadah Dalam Islam
Sebelum kita masuk dalam ruang lingkup bisnis, berusaha, bekerja untuk mencari rezki, perlu sedikit kita bahas tentang ibadah, karena setiap usaha atau mu’amalah apapun yang dilakukan oleh manusia tujuan akhirnya adalah untuk ibadah pada Allah SWT. Disamping itu ibadah juga merupakan tugas utama bagi setiap manusia yang merupakan fitrah baginya. Ibadah inilah yang nantinya akan menentukan tempat yang paling tepat bagi manusia di akhirat kelak, karena manusialah yang berperan utama menentukan hasil akhir dari ibadahnya itu kepada Allah SWT.
Ibadah menurut defenisi Ibnu Taimiyyah RA: “Ibadah adalah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah SWT baik berbentuk ucapan atau perbuatan yang nampak ataupun tidak nampak.”
Dalam urusan mu’amalah baik berupa bisnis, usaha ataupun pekerjaan lainnya terdapat unsur ta’awun (tolong-menolong) syar’i dalam upaya melepaskan saudara kita dari belenggu yang memberatkan dirinya. Dalil-dalil yang menunjukkan berusaha, bekerja, ataupun berbisnis, sebagai salah satu bentuk ibadah anatara lain: “Tolong-menolonglah kalian di dalam kebajikan dan ketaqwaan dan jangan kalian tolong-menolong di dalam perbuatan dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 3)
Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa melepaskan saudaranya dari kesulitan di dunia, niscaya Allah akan melepaskannya dari kesulitan-kesulitan pada hari kiamat. Dan barangsiapa memberikan kemudahan bagi saudaranya yang mendapatkan kesulitan, niscaya Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan di akhirat. Serta barangsiapa menyembunyikan aib saudaranya, maka Allah akan menyembunyikan aibnya di dunia dan akhirat. Pertolongan Allah selalu menyertai seorang hamba, selama hamba itu menolong saudaranya.”
Manusia juga harus ingat bahwa bahwa sesungguhnya ibadah yang diwajibkan sebagai tugas yang paling utama kepada umat manusia bukanlah semata untuk kepentingan Allah SWT melainkan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Semakin bagus kualitas dan kuantitas ibadah seseorang, maka semakin bagus pula tempat yang disediakan baginya di akhirat kelak. Sebaliknya, semakin buruk kualitas maupun kuantitas ibadah seorang manusia, maka semakin buruk pulalah tempat kediamannya di akhirat kelak. Ayat berikut menunjukkan bahwa ibadah adalah kepentingan dan kebutuhan manusia, bukan kebutuhan Allah SWT.
“Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan.” (QS. Ad Dzaariyat,51: 57)
Ini berarti bahwa Allah lah yang telah mencukupkan segala sesuatunya. Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi ini dengan pedoman, yaitu Al-Qur’an dan sunnah utusan-Nya Muhammad SAW. Manusia juga diberi akal untuk mempertahankan hidupnya. Semua itu menunjukkan bahwa manusia tidak berdaya, bukanlah apa-apa dan sangat bergantung kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya:
Hai manusia kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha terpuji” (Q.S. Fathir,35: 15)
A. Kategori Ibadah
Di dalam Islam Ibadah memiliki ruang lingkup yang yang sangat luas, yang dikategorikan kedalam dua bentuk:.
1. Ibadah Maghdhoh (khusus)
Ibadah maghdhoh yaitu merupakan perintah-perintah yang wajib dilakukan sebagaimana yang terkandung di dalam Rukun Islam seperti solat, puasa, zakat, haji dan beberapa amalan khusus seperti tilawah Al-Quran, zikir dan seumpamanya. Ibadah inibersifat taufiqiyyah, yaitu dilaksanakan menurut garis-garis yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW tanpa boleh ditambah ataupun dikurangkan. Sabda Rasulullah SAW:
“Sembahyanglah kamu sebagaimana kamu melihat aku sembahyang. (HR. Sahih Bukhari)
Dalam ibadah maghdhoh ini, segala sesuatu yang baru diluar Al -Quran dan Al Hadits dipandang sebagai bid’ah.
2. Ibadah Ghoiru Maghdhoh (Umum/Muamalah)
Segala perkara atau amalan selain daripada bidang ibadah khusus di atas yang dilakukan semata-mata untuk mencari keredhaan Allah, yang meliputi seluruh perbuatan manusia dalam kehidupan sehariannya (mua’malah). Dengan arti kata segala bentuk hubungan dengan sesama dan lingkungan.
Sebagai contoh, ibadah dalam arti umum misalnya: mencari nafkah, berdagang, berusaha, bertetangga, bernegara, tolong-menolong, dll. Insha Allah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah ibadah umum yang berkaitan dengan mu’amalah, salah satunya yaitu bagaimana kode etik berusaha, berbisnis, mencari nafkah yang benar menurut tatanan syari’at Islam.
B. Syarat-syarat Ibadah
Persyaratan persyaratan yang harus dijalani setiap Muslim agar setiap aktivitas (baik yang umum maupun yang khusus) bernilai ibadah disis Allah SWT.
1. Tauhid yang benar
Karena setiap usaha, kerja itu merupakan sebuah ibadah, sudah barang tentu akan bernilai ibadah di sisi Allah SWT jika dibangun di atas aqidah tauhid yang benar, sebagaimana Firman Allah SWT dalam firmanNya surat Az-Zaariyat,51:56
” Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. 51:56)
Abdullah bin ‘Abbas RA mengatakan illaa liya’buduuni artinya: “Agar mereka mengakui peribadatan adalah milik-Ku, baik dalam keadaan suka ataupun terpaksa.”
Al-Imam Al-Qurthubi RA mengatakan: “(Maknanya adalah) tidaklah Aku menciptakan orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan dari kalangan jin dan manusia, melainkan (karena) mereka mentauhidkan-Ku.”
Muhammad bin Abdul Wahab RA mengatakan: “Ibadah adalah tauhid.” Kemudian dijelaskan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin RA: “Ibadah itu dibangun di atas tauhid. Dan setiap ibadah yang tidak (didasari) tauhid bukanlah sebuah ibadah. Terlebih lagi, sebagian ulama salaf menafsirkan firman Allah SWT ‘kecuali agar mereka menyembah-Ku’ yaitu kecuali agar mereka mentauhidkan Aku. Dan ini sangat sesuai dengan apa yang disimpulkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bahwa ibadah itu adalah tauhid, dan setiap ibadah yang tidak dibangun di atas tauhid adalah (ibadah) batil. Rasulullah SAW bersabda: ‘Allah SWT berfirman: Aku tidak butuh kepada sekutu. Barangsiapa melakukan sebuah amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku (pada amalan tersebut), Aku akan membiarkannya dengan amalan syiriknya tersebut.”
Oleh sebab itu realisasi tauhid dalam peribadatan adalah “Tidak bertujuan melainkan mengharapkan wajah Allah SWT dan tidak memberikannya kepada selain-Nya. Yaitu ibadah yang tidak dikotori oleh noda-noda riya`, mengharapkan pujian dari orang lain, atau agar memiliki tempat dalam hati manusia.” Disamping itu setiap amal soleh orang-orang beriman kepada Allah dan hari kemudian (hari akhir) akan mendapatkan ganjaran pahala dari Allah SWT. Sebagaimana janji Allah dalam firmanNya:
“Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah : 62)
2. Niat yang ikhlas (murni) karena Allah SWT ( tanpa meminta, menuntut imbalan apapun baik dunia maupun akhirat ).:
Ikhlas artinya mengharapkan ridha Allah SWT semata dan tidak menginginkan selainnya. Keikhlasan ini merupakan implementasi dari syahadat,” Laa ilaaha illallaahu”
Abu Qashim Al-Qusyairi menjelaskan: “Ikhlas adalah mengesakan Allah SWT dalam ketaatan yang hanya bertujuan untuk-Nya. Yakni dengan ketaatan yang dilakukannya itu, dia ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT dan bukan kepada selain-Nya, seperti berbuat karena makhluk, mencari pujian orang, senang mendapatkan pujian, atau segala makna yang tidak untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Diantara dalil-dalil yang menunjukkan tentang keihklasan ini adalah firman Allah SWT:
“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka mengikhlaskan agama untuk Allah yaitu agama yang lurus, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5)
Barang siapa yang beribadah dengan ikhlas karena Allah SWT maka ia pun akan mendapatkan pahala Allah SWT. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya dan bagi segala sesuatu tergantung dari apa yang ia niatkan.” (HR. Al-Imam Muslim)
3. Sesuai dengan Tuntunan Rasulullah SAW
Syarat ini merupakan implementasi dari syahadat , Muhammadurrasulullah Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa melakukan sebuah ibadah yang tidak ada perintahnya dariku maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari Muslim)
Niat yang Jelek adalah Perusak ibadah. Di antara bentuk gambaran niat yang jelek adalah:
a. Riya`
Riya` yaitu memamerkan sebuah amalan dengan tujuan ingin mendapatkan pujian dan sanjungan, ingin mendapatkan pengagungan atau pengakuan dari manusia. Riya` termasuk syirik kecil bila sedikit, dan akan menjadi syirik besar bila banyak. Allah berfirman:
“Aku tidak butuh kepada sekutu, maka barangsiapa melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku padanya (dalam amalan tersebut) dengan selain-Ku, Aku akan meninggalkannya bersama amalan syiriknya.”
b. Sum’ah
Sum’ah adalah memperdengarkan amal kebajikan agar mendapatkan pujian, sanjungan, atau kedudukan di hati manusia. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Barangsiapa memperdengarkan kebaikannya, Allah akan memperdengarkan keburukannya (di dunia dan akhirat) dan barangsiapa yang memamerkan amalannya, Allah akan memamerkan keburukannya (di dunia dan akhirat).”
c. Berbuat untuk dunia
Hal ini telah ditegaskan oleh Ibnul Qayyim RA: “Adapun kesyirikan di dalam keinginan dan niat, bagaikan laut yang tidak bertepi. Sedikit orang yang selamat darinya. Barangsiapa yang beramal namun menginginkan selain wajah Allah WT meniatkan sesuatu yang bukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan bukan karena meminta ganjaran dari Allah SWT, sungguh dia telah melakukan kesyirikan di dalam keinginan dan niatan.
Ikhlas adalah seseorang memurnikan ucapan dan perbuatannya untuk Allah SWT, keinginan serta niatnya. Inilah agama Nabi Ibrahim AS, yang Allah SWT telah memerintahkan seluruh hamba dengannya, dan tidak akan diterima dari siapapun selain agama ini. Dan ini merupakan hakikat Islam, sebagaimana firman Allah SWT: “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: “Beramal karena dunia dan dalam rangka mendapatkan harta benda, maka:
1. Jika keinginan seorang hamba seluruhnya demi tujuan ini dan tidak ada keinginan untuk mendapat ridha Allah SWT dan akhirat, maka dia tidak akan mendapatkan bagian apapun di akhirat. Amal semacam ini tidak mungkin muncul dari seorang mukmin. Karena seorang mukmin meskipun lemah imannya, pasti memiliki niat untuk beramal karena Allah SWT dan dalam rangka mendapatkan bagian diakhirat.
2. Jika seseorang beramal karena Allah dan karena dunia, dan kedua tujuan ini keadaannya sama atau mendekati sama, walaupun ia seorang mukmin, maka ia berada dalam keadaan kurang dalam keimanan, tauhid, dan keikhlasan. Begitu pula amalnya kurang karena kehilangan kesempuranaan ikhlash.
3. Seseorang yang beramal karena Allah SWT semata dan keikhlasannya sempurna, namun ia mengambil semacam gaji dari amalan yang ia kerjakan untuk digunakan membantu pekerjaan dan agamanya -seperti seorang mujahid yang mendapat harta rampasan perang- maka tidak ada efek negatif bagi iman dan tauhidnya jika ia mengambilnya. Karena ia beramal bukan untuk tujuan dunia, namun ia beramal dalam rangka menegakkan agama. Dan ia bertujuan dengan apa yang dia dapatkan itu untuk membantu tegaknya agama.
Dari uraian diatas tentang bagaimana satu usaha untuk mencari rezki yang halal yang bernilai ibadah dimata Allah jelaslah bahwa, tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara. Berusaha, bekerja untuk mencari rezki adalah sebuah ibadah, tidak boleh dijadikan jembatan alternatif mencari nama atau popularitas.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa ibadah itu memiliki aspek yang sangat luas. Segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah baik berupa perbuatan maupun ucapan, secara lahir atau batin, semua merupakan ibadah. Lawan ibadah adalah ma’syiat.
III. Kaidah-Kaidah atau Prinsip prinsip Berusaha/Bekerja Dalam Islam
Dalam Islam, bidang yang membahas masalah jual beli, perdagangan, usaha, bisnis, termasuk kedalam fiqh ekonomi (fiqih iqtishady) yang mencakup tentang aturan-aturan atau rambu-rambu yang diperoleh dari hasil ijtihad manusia yang didasarkan pada wahyu Ilahi (Al-Qur’an dan Al-Hadist), berkenaan dengan bagaimana manusia (individu-individu dan masyarakat) dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dengan membuat pilihan-pilihan dalam menggunakan sumber-sumber daya yang tersedia. Islam telam memberikan guide lines (buku panduan) dalam melakukan setiap usaha yang dilakukan oleh manusia, supaya manusia tidak berlaku semaunya saja dalam mencari nafkah. Diantara prinsip-prinsip yang telah diatur dalm Syariat Islam itu adalah sbb:
1. Niat yang Ikhlas.
Keikhlasan adalah perkara yang amat menentukan. Dengan niat yang ikhlas, semua bentuk pekerjaan yang berbentuk kebiasaan bisa bernilai ibadah. Dengan kita lain aktivitas usaha yang kita lakukan bukan semata-mata urusan harta an perut tapi berkaitan erat dengan urusan akhirat.
Allah telah menegaskan bahwa hakekatnya tujuan manusia diciptakan di muka bumi adalah untuk beribadah kepadaNya ” Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepaKu”(QS Adz Dzariyat ayat 56), maka tentunya semua aktivitas kita di dunia tidak lepas dari tujuan itu pula. Rasulullah SAW bersabda ” Sesungguhnya amalan itu dengan tergantung dengan niatnya”
2. Akhlaq yang Mulia
Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT ke dunia ini adalah dalam rangka untuk menyempurnakan akhlaq manusisa. Oleh sebab itu menjaga sikap dan perilaku dalam berusaha, bekerja maupun berbisnis adalah prinsip penting bagi setiap muslim. Ini karena Islam sangat menekankan perilaku (akhlaq) yang baik dalam setiap kesempatan, termasuk dalam berbisnis, bekerja, maupun berusaha apaun juga. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “
0 komentar:
Posting Komentar