PENGERTIAN TAUHID DAN MACAM-MACAMNYA
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Walaupun masalah qadha’ dan qadar menjadi ajang perselisihan di kalangan umat Islam, tetapi Allah telah membukakan hati para hambaNya yang beriman, yaitu para Salaf Shalih yang mereka itu senantiasa rnenempuh jalan kebenaran dalam pemahaman dan pendapat. Menurut mereka qadha’ dan qadar adalah termasuk rububiyah Allah atas makhlukNya. Maka masalah ini termasuk ke dalam salah satu di antara tiga macam tauhid menurut pembagian ulama:
Pertama:
Tauhid Al-Uluhiyah, ialah mengesakan Allah dalam ibadah, yakni beribadah hanya kepada Allah dan karenaNya semata.
Kedua:
Tauhid Ar-Rububiyah, ialah rneng esakan Allah dalam perbuatanNya, yakni mengimani dan meyakini bahwa hanya Allah yang Mencipta, menguasai
dan mengatur alam semesta ini.
Ketiga:
Tauhid Al-Asma’ was-Sifat, ialah mengesakan Allah dalam asma dan sifatNya. Artinya mengimani bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. dalam dzat, asma maupun sifat.
Iman kepada qadar adalah termasuk tauhid ar-rububiyah. Oleh karena itu Imam Ahmad berkata: “Qadar adalah kekuasaan Allah”. Karena, tak syak lagi, qadar (takdir) termasuk qudrat dan kekuasaanNya yang menyeluruh. Di samping itu, qadar adalah rahasia Allah yang- tersembunyi, tak ada seorangpun yang dapat mengetahui kecuali Dia, tertulis pada Lauh Mahfuzh dan tak ada seorangpun yang dapat melihatnya. Kita tidak tahu takdir baik atau buruk yang telah ditentukan untuk kita maupun untuk makhluk lainnya, kecuali setelah terjadi atau berdasarkan nash yang benar.
PENDAPAT-PENDAPAT TENTANG QADAR
Pembaca yang budiman.
Umat Islam dalam masalah qadar ini terpecah dalam tiga golongan.
Pertama:
Mereka yang ekstrim dalam menetapkan qadar dan menolak adanya kehendak dan kemampuan makhluk. Mereka berpendapat bahwa manusia sama sekali tidak mempunyai kemampuan dan keinginan, dan hanyalah disetir dan tidak mempunyai pilihan, laksana pohon yang tertiup angin. Mereka tidak membedakan antara perbuatan manusia yang terjadi dengan kemauannya dan perbuatan yang terjadi tanpa kemauannya. Tentu saja mereka ini keliru dan sesat, karena sudah jelas menurut agama, akal dan adat kebiasaan bahwa manusia dapat membedakan antara perbuatan yang dikehendaki dan perbuatan yang terpaksa.
Kedua:
Mereka yang ekstrim dalam menetapkan kemampuan dan kehendak makhluk sehingga mereka menolak bahwa apa yang diperbuat manusia adalah karena kehendak dan keinginan Allah serta diciptakan olehNya. Menurut mereka, manusia memmiliki kebebasan atas perbuatannya. Bahkan ada di antara mereka yang mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh manusia kecuali setelah terjadi. Mereka inipun sangat ekstrim dalam menetapkan kemampuan dan kehendak makhluk.
Ketiga:
Mereka yang beriman, sehingga diberi petunjuk oleh Allah untuk menemukan kebenaran yang telah diperselisihkan. Mereka itu adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dalam masalah ini mereka menempuh jalan tengah dengan berpijak di atas dalil syar’i dan dalil ‘aqli Mereka berpendapat bahwa perbuatan yang dijadikan Allah di alam semesta ini terbagi atas dua macam:
[1]. Perbuatan yang dilakukan oleh Allah, terhadap makhlukNya Dalam hal ini tidak ada kekuasaan dan pilihan bagi siapapun. Seperti; turunnya hujan, tumbuhnya tanaman, kehidupan, kematian, sakit, sehat dan banyak contoh lainnya yang dapat disaksikan pada makhluk Allah. Hal seperti ini, tentu saja tak ada kekuasaan dan kehendak bagi siapapun kecuali bagi Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa.
[2]. Perbuatan yang dilakukan oleh semua makhluk yang mempunyai kehendak. Perbuatan ini terjadi atas dasar keinginan dan kemauan pelakunya karena Allah menjadikannya untuk mereka. Sebagaimana firman Allah:
“Artinya : Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus” [At-Takwir: 28]
”Artinya : Di antara kamu ada orang yang- menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat.” [Ali Imran : 152]
“Artinya : Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir ” [Al-Kahfi : 29]
Manusia bisa membedakan antara perbuatan yang terjadi karena kehendaknya sendiri dan yang terjadi karena terpaksa. Sebagai contoh, orang yang dengan sadar turun dari atas rumah melalui tangga, ia tahu kalau perbuatannya itu atas dasar pilihan dan kehendaknya sendiri. Lain halnya kalau ia terjatuh dari atas rumah, ia tahu bahwa hal tersebut bukan karena kemauannya. Dia dapat membedakan antara kedua perbuatan ini, yang pertama atas dasar kemauannya dan yang kedua tanpa kemauannya. Dan siapapun mengetahui perbedaan ini.
Begitu juga orang yang menderita sakit beser umpamanya, ia tahu kalau air kencingnya keluar tanpa kemauannya. Tetapi apabila ia sudah sembuh, ia sadar bahwa air kencingnya keluar dengan kemauannya. Dia mengetahui perbedaan antara kedua hal ini dan tak ada seorangpun yang mengingkari adanya perbedaan tersebut.
Demikianlah segala yang terjadi dari manusia, dia mengetahui perbedaan antara mana yang terjadi dengan kemauannya dan mana yang tidak.
Akan tetapi, karena kasih sayang Allah, ada di antara perbuatan manusia yang terjadi atas kemauannya namun tidak dinyatakan Sebagai perbuatannya. Seperti perbuatan orang yang kelupaan dan orang yang sedang tidur.
Firman Allah dalam kisah Ashabul Kahfi.
“Artinya : … dan Kami mereka ke kanan dan ke kiri…” [Al-Kahfi :18]
Padahal merekalah sendiri yang berbalik ke kanan dan ke kiri, tetapi Allah menyatakan bahwa Dialah yang membalik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sebab orang yang sedang tidur tidak mempunyai kemauan dan pilihan serta tidak mendapat hukuman atas perbuatannya, maka perbuatan tersebut di-nisbat-kan kepada Allah.
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam
“Artinya : Barangsiapa yang lupa ketika dalam keadaan berpuasa lalu makan atau minum, maka hendaklah !a menyempurnakan puasanya, karena Allah yang memberinya makan dan memberinya minum. “
Dinyatakan dalam hadits ini bahwa yang memberinya makan dan minum adalah Allah karena perbuatannya tersebut terjadi di luar kesadarannya, maka seakan-akan terjadi tanpa kemauannya
Kita semua mengetahui perbedaan antara rasa sakit atau rasa senang yang kadangkala dirasakan seseorang dalam dirinya tanpa kemauannya serta dia sendiri tidak tahu sebabnya dan rasa sakit atau rasa senang yang timbul dari perbuatan yang dilakukan oleh dia sendiri. Hal ini, alhamdulillah, sudah cukup jelas dan gamblang.
[Disalin dari kitab Al-Qadha wal Qadar, edisi Indonesia Qadha & Qadhar, Penyusun Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah A.Masykur Mz, Penerbit Darul Haq, Cetakan Rabi’ul Awwal 1420H/Juni 1999M]
0 komentar:
Posting Komentar