PAKAIAN
Islam: Dalam Islam fungsi pakaian atau busana, selain sebagai penutup aurat (badan), juga berfungsi sebagai keindahan. Umumnya ulama sepakat bahwa semua jenis pakaian adalah halal bagi laki-laki dan perempuan, kecuali sutra, hasil rampasan, dan dibuat dari kulit bangkai. Larangan pakaian yang terbuat dari Sutra adalah khusus laki-laki sedangkan perempuan tidak.
Selain itu, Islam juga menganjurkan tata aturan berpakaian yang sebaiknya di lakukan oleh umatnya, misalnya disunatkan memakai pakaian warna putih bila beribadah (Shalat). Sunat di sini artinya, mendapat paha la bila dikerjakan, dan tidak mendapat dosa bila ditinggal kan. Tentang tujuan ataupun fungsi pakaian ini di tegas kan Tuhan Q.S.al-A’raaf : 26.
Oleh sebab itu, siapa saja yang berlebih-lebihan dalam berpakaian berarti telah menyimpang dari ajaran Islam. Apalagi sampai bertelanjang, berarti telah mengi kuti langkah-langkah syetan. Firman Tuhan al-A’raf: 31 berbunyi: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minum lah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Q.S.7:31).
Islam mewajibkan umat manusia untuk menutup auratnya, yaitu wilayah anggota badan, yang bagi orang beradap malu bila terlihat oleh orang lain. Hal inilah yang membedakannya antara manusia dengan hewan. Bahkan Islam juga menganjurkan mereka untuk tetap menutup auratnya meskipun sedang sendirian dan jauh dari orang lain, hingga rasa malu menjadi terbiasa dan akhlaknya Hadis Nabi mengatakan
“Wahai Rasul, aurat-aurat kami, apa yang kami tutup dan apa pula yang kami biarkan? Rasul bersabda: jagalah auratmu kecuali terhadap istri atau budak yang kamu miliki. Saya bertanya lagi: “wahai Rasulullah, bagaimana bila suatu kaum sedang dalam kebersamaan (dalam perjalanan misalnya)? Beliau menjawab: “Jika engkau bisa untuk tidak seorang pun melihatnya, usahakan untuk tidak melihatnya, saya bertanya lagi. Bagaimana jika salah seorang di antara kami sedang sendirian. Rasullah menjawab: “Allah SWT lebih berhak untuk ia mereka malu kepada Nya. (N.R. Ahmad, Abu Daud, Tarmizi, Ibu Majah,al-Hadits dan Baihaqi. [ktm]
Jawab: 1. Pengantar
Banyak kesalahpahaman terhadap Islam di tengah masyarakat. Misalnya saja jilbab. Tak sedikit orang menyangka bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah kerudung. Padahal tidak demikian. Jilbab bukan kerudung. Kerudung dalam al-Qur’an surah An-Nuur [24]: 31 disebut dengan istilah khimar (jamaknya: khumur), bukan jilbab. Adapun jilbab yang terdapat dalam surah al-Ahzab [33]: 59, sebenarnya adalah baju longgar yang menutupi seluruh tubuh perempuan dari atas sampai bawah.
Kesalahpahaman lain yang sering dijumpai adalah anggapan bahwa busana muslimah itu yang penting sudah menutup aurat, sedang mode baju apakah terusan atau potongan, atau memakai celana panjang, dianggap bukan masalah. Dianggap, model potongan atau bercelana panjang jeans oke-oke saja, yang penting ‘kan sudah menutup aurat. Kalau sudah menutup aurat, dianggap sudah berbusana muslimah secara sempurna. Padahal tidak begitu. Islam telah menetapkan syarat-syarat bagi busana muslimah dalam kehidupan umum, seperti yang ditunjukkan oleh nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Menutup aurat itu hanya salah satu syarat, bukan satu-satunya syarat busana dalam kehidupan umum. Syarat lainnya misalnya busana muslimah tidak boleh menggunakan bahan tekstil yang transparan atau mencetak lekuk tubuh perempuan. Dengan demikian, walaupun menutup aurat tapi kalau mencetak tubuh alias ketat —atau menggunakan bahan tekstil yang transparan— tetap belum dianggap busana muslimah yang sempurna.
Karena itu, kesalahpahaman semacam itu perlu diluruskan, agar kita dapat kembali kepada ajaran Islam secara murni serta bebas dari pengaruh lingkungan, pergaulan, atau adat-istiadat rusak di tengah masyarakat sekuler sekarang. Memang, jika kita konsisten dengan Islam, terkadang terasa amat berat. Misalnya saja memakai jilbab (dalam arti yang sesungguhnya). Di tengah maraknya berbagai mode busana wanita yang diiklankan trendi dan up to date, jilbab secara kontras jelas akan kelihatan ortodoks, kaku, dan kurang trendi (dan tentu, tidak seksi). Padahal, busana jilbab itulah pakaian yang benar bagi muslimah.
Di sinilah kaum muslimah diuji. Diuji imannya, diuji taqwanya. Di sini dia harus memilih, apakah dia akan tetap teguh mentaati ketentuan Allah dan Rasul-Nya, seraya menanggung perasaan berat hati namun berada dalam keridhaan Allah, atau rela terseret oleh bujukan hawa nafsu atau rayuan syaitan terlaknat untuk mengenakan mode-mode liar yang dipropagandakan kaum kafir dengan tujuan agar kaum muslimah terjerumus ke dalam limbah dosa dan kesesatan.
Berkaitan dengan itu, Nabi Saw pernah bersabda bahwa akan tiba suatu masa di mana Islam akan menjadi sesuatu yang asing —termasuk busana jilbab— sebagaimana awal kedatangan Islam. Dalam keadaan seperti itu, kita tidak boleh larut. Harus tetap bersabar, dan memegang Islam dengan teguh, walaupun berat seperti memegang bara api. Dan insyaAllah, dalam kondisi yang rusak dan bejat seperti ini, mereka yang tetap taat akan mendapat pahala yang berlipat ganda. Bahkan dengan pahala lima puluh kali lipat daripada pahala para shahabat. Sabda Nabi Saw:
“Islam bermula dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi sesuatu yang asing. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” [HR. Muslim no. 145].
“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari yang memerlukan kesabaran. Kesabaran pada masa-masa itu bagaikan memegang bara api. Bagi orang yang mengerjakan suatu amalan pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh orang yang mengerjakan semisal amalan itu. Ada yang berkata, “Hai Rasululah, apakah itu pahala lima puluh di antara mereka?” Rasululah Saw menjawab, “Bahkan lima puluh orang di antara kalian (para shahabat).” [HR. Abu Dawud, dengan sanad hasan].
2. Aurat Dan Busana Muslimah
Ada 3 (tiga) masalah yang sering dicampuradukkan yang sebenarnya merupakan masalah-masalah yang berbeda-beda.
Pertama, masalah batasan aurat bagi wanita.
Kedua, busana muslimah dalam kehidupan khusus (al hayah al khashshash), yaitu tempat-tempat di mana wanita hidup bersama mahram atau sesama wanita, seperti rumah-rumah pribadi, atau tempat kost.
Ketiga, busana muslimah dalam kehidupan umum (al hayah ‘ammah), yaitu tempat-tempat di mana wanita berinteraksi dengan anggota masyarakat lain secara umum, seperti di jalan-jalan, sekolah, pasar, kampus, dan sebagainya. Busana wanita muslimah dalam kehidupan umum ini terdiri dari jilbab dan khimar.
a. Batasan Aurat Wanita
Aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Lehernya adalah aurat, rambutnya juga aurat bagi orang yang bukan mahram, meskipun cuma selembar. Seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal ini berlandaskan firman Allah SWT:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nuur [24]: 31).
Yang dimaksud “wa laa yubdiina ziinatahunna” (janganlah mereka menampakkan perhiasannya), adalah “wa laa yubdiina mahalla ziinatahinna” (janganlah mereka menampakkan tempat-tempat (anggota tubuh) yang di situ dikenakan perhiasan) (Lihat Abu Bakar Al-Jashshash, Ahkamul Qur’an, juz III, hal. 316).
Selanjutnya, “illa maa zhahara minha” (kecuali yang (biasa) nampak dari padanya). Jadi ada anggota tubuh yang boleh ditampakkan. Anggota tubuh tersebut, adalah wajah dan dua telapak tangan. Demikianlah pendapat sebagian shahabat, seperti ‘Aisyah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar (Al-Albani, 2001 : 66). Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H) berkata dalam kitab tafsirnya Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, juz XVIII, hal. 84, mengenai apa yang dimaksud dengan “kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (illaa maa zhahara minha): “Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengatakan, ‘Yang dimaksudkan adalah wajah dan dua telapak tangan’.” Pendapat yang sama juga dinyatakan Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, juz XII, hal. 229 (Al-Albani, 2001 : 50 & 57).
Jadi, yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua telapak tangan. Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan muslimah di hadapan Nabi Saw sedangkan beliau mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah Saw, yaitu di masa masih turunnya ayat al-Qur’an (An-Nabhani, 1990 : 45). Di samping itu terdapat alasan lain yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah Saw kepada Asma’ binti Abu Bakar:
“Wahai Asma’ sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.” [HR. Abu Dawud].
Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasanya seluruh tubuh wanita itu adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka diwajibkan atas wanita untuk menutupi auratnya, yaitu menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.
b. Busana Muslimah Dalam Kehidupan Khusus
Adapun dengan apa seorang muslimah menutupi aurat tersebut, maka di sini syara’ tidak menentukan bentuk/model pakaian tertentu untuk menutupi aurat, akan tetapi membiarkan secara mutlak tanpa menentukannya dan cukup dengan mencantumkan lafadz dalam firman-Nya (Qs. an-Nuur [24]: 31) “wa laa yubdiina” (Dan janganlah mereka menampakkan) atau sabda Nabi Saw “lam yashluh an yura minha” (tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya) [HR. Abu Dawud]. Jadi, pakaian yang menutupi seluruh auratnya kecuali wajah dan telapak tangan dianggap sudah menutupi, walau bagaimana pun bentuknya. Dengan mengenakan daster atau kain yang panjang juga dapat menutupi, begitu pula celana panjang, rok, dan kaos juga dapat menutupinya. Sebab bentuk dan jenis pakaian tidak ditentukan oleh syara’.
Berdasarkan hal ini maka setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat menutupi aurat, yaitu yang tidak menampakkan aurat dianggap sebagai penutup bagi aurat secara syar’i, tanpa melihat lagi bentuk, jenis, maupun macamnya.
Namun demikian syara’ telah mensyaratkan dalam berpakaian agar pakaian yang dikenakan dapat menutupi kulit. Jadi pakaian harus dapat menutupi kulit sehingga warna kulitnya tidak diketahui. Jika tidak demikian, maka dianggap tidak menutupi aurat. Oleh karena itu apabila kain penutup itu tipis/transparan sehingga nampak warna kulitnya dan dapat diketahui apakah kulitnya berwarna merah atau coklat, maka kain penutup seperti ini tidak boleh dijadikan penutup aurat.
Mengenai dalil bahwasanya syara’ telah mewajibkan menutupi kulit sehingga tidak diketahui warnanya, adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwasanya Asma’ binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi Saw dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah Saw berpaling seraya bersabda:
“Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak boleh baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.” [HR. Abu Dawud].
Jadi Rasulullah Saw menganggap kain yang tipis itu tidak menutupi aurat, malah dianggap menyingkapkan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi Saw berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi.
Dalil lainnya juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah bin Zaid, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi Saw tentang Qibtiyah (baju tipis) yang telah diberikan Nabi Saw kepada Usamah. Lalu dijawab oleh Usamah bahwasanya ia telah memberikan pakaian itu kepada isterinya, maka Rasulullah Saw bersabda kepadanya:
“Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.” [HR. Ahmad dan Al-Baihaqi, dengan sanad hasan. Dikeluarkan oleh Adh-Dhiya’ dalam kitab Al-Ahadits Al-Mukhtarah, juz I, hal. 441] (Al-Albani, 2001 : 135).
Qibtiyah adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah Saw mengetahui bahwasanya Usamah memberikannya kepada isterinya, beliau memerintahkan agar dipakai di bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu, sehingga beliau bersabda: “Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu.”
Dengan demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang sangat jelas bahwasanya syara’ telah mensyaratkan apa yang harus ditutup, yaitu kain yang dapat menutupi kulit. Atas dasar inilah maka diwajibkan bagi wanita untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis sedemikian sehingga tidak tergambar apa yang ada di baliknya.
c. Busana Muslimah Dalam Kehidupan Umum
Pembahasan poin b di atas adalah topik mengenai penutupan aurat wanita dalam kehidupan khusus. Topik ini tidak dapat dicampuradukkan dengan pakaian wanita dalam kehidupan umum, dan tidak dapat pula dicampuradukkan dengan masalah tabarruj pada sebagian pakaian-pakaian wanita.
Jadi, jika seorang wanita telah mengenakan pakaian yang menutupi aurat, tidak berarti lantas dia dibolehkan mengenakan pakaian itu dalam kehidupan umum, seperti di jalanan umum, atau di sekolah, pasar, kampus, kantor, dan sebagainya. Mengapa? Sebab untuk kehidupan umum terdapat pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’. Jadi dalam kehidupan umum tidaklah cukup hanya dengan menutupi aurat, seperti misalnya celana panjang, atau baju potongan, yang sebenarnya tidak boleh dikenakan di jalanan umum meskipun dengan mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat.
Seorang wanita yang mengenakan celana panjang atau baju potongan memang dapat menutupi aurat. Namun tidak berarti kemudian pakaian itu boleh dipakai di hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena dengan pakaian itu ia telah menampakkan keindahan tubuhnya (tabarruj). Tabarruj adalah, menempakkan perhiasan dan keindahan tubuh bagi laki-laki asing/non-mahram (izh-haruz ziinah wal mahasin lil ajaanib) (An-Nabhani, 1990 : 104). Oleh karena itu walaupun ia telah menutupi auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara’.
Pakaian wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal) yang disebut dengan jilbab, dan baju atas (libas a’la) yaitu khimar (kerudung). Dengan dua pakaian inilah seorang wanita boleh berada dalam kehidupan umum, seperti di kampus, supermarket, jalanan umum, kebun binatang, atau di pasar-pasar.
Apakah pengertian jilbab? Dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith karya Dr. Ibrahim Anis (Kairo : Darul Maarif) halaman 128, jilbab diartikan sebagai “Ats tsaubul musytamil ‘alal jasadi kullihi” (pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau “Ma yulbasu fauqa ats tsiyab kal milhafah” (pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian rumah, seperti milhafah (baju terusan), atau “Al Mula`ah tasytamilu biha al mar’ah” (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh wanita).
Jadi jelaslah, bahwa yang diwajibkan atas wanita adalah mengenakan kain terusan (dari kepala sampai bawah) (Arab: milhafah/mula`ah) yang dikenakan sebagai pakaian luar (di bawahnya masih ada pakaian rumah, seperti daster, tidak langsung pakaian dalam) lalu diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya.
Untuk baju atas, disyariatkan khimar, yaitu kerudung atau apa saja yang serupa dengannya yang berfungsi menutupi seluruh kepala, leher, dan lubang baju di dada. Pakaian jenis ini harus dikenakan jika hendak keluar menuju pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum (An-Nabhani, 1990 : 48).
Apabila ia telah mengenakan kedua jenis pakaian ini (jilbab dan khimar) dibolehkan baginya keluar dari rumahnya menuju pasar atau berjalan melalui jalanan umum, yaitu menuju kehidupan umum. Akan tetapi jika ia tidak mengenakan kedua jenis pakaian ini maka dia tidak boleh keluar dalam keadaan apa pun, sebab perintah yang menyangkut kedua jenis pakaian ini datang dalam bentuk yang umum, dan tetap dalam keumumannya dalam seluruh keadaan, karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
Dalil mengenai wajibnya mengenakan dua jenis pakaian ini, karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bagian atas (khimar/kerudung):
“Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nuur [24]: 31).
Dan karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bawah (jilbab):
“Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.” (Qs. al-Ahzab [33]: 59).
Adapun dalil bahwa jilbab merupakan pakaian dalam kehidupan umum, adalah hadits yang diriwayatkan dari Ummu ‘Athiah r.a., bahwa dia berkata:
“Rasulullah Saw memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju shalat Ied, maka Ummu ‘Athiyah berkata, ‘Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?’ Maka Rasulullah Saw menjawab: ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya!’” [Muttafaqun ‘alaihi] (Al-Albani, 2001 : 82).
Berkaitan dengan hadits Ummu ‘Athiyah ini, Syaikh Anwar Al-Kasymiri, dalam kitabnya Faidhul Bari, juz I, hal. 388, mengatakan: “Dapatlah dimengerti dari hadits ini, bahwa jilbab itu dituntut manakala seorang wanita keluar rumah, dan ia tidak boleh keluar (rumah) jika tidak mengenakan jilbab.” (Al-Albani, 2001 : 93).
Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas wanita agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadits dari Ummu ‘Athiah r.a. di atas, yakni kalau seorang wanita tak punya jilbab —untuk keluar di lapangan sholat Ied (kehidupan umum)— maka dia harus meminjam kepada saudaranya (sesama muslim). Kalau tidak wajib, niscaya Nabi Saw tidak akan memerintahkan wanita mencari pinjaman jilbab.
Untuk jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur sampai ke bawah sampai menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan: “yudniina ‘alaihinna min jalabibihinna” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka).
Dalam ayat tersebut terdapat kata “yudniina” yang artinya adalah yurkhiina ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini —yaitu idnaa’ berarti irkhaa’ ila asfal— diperkuat dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata, Rasulullah Saw telah bersabda:
“Barang siapa yang melabuhkan/menghela bajunya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat nanti.’ Lalu Ummu Salamah berkata,’Lalu apa yang harus diperbuat wanita dengan ujung-ujung pakaian mereka (bi dzuyulihinna).” Nabi Saw menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran)’ (yakni dari separoh betis). Ummu Salamah menjawab, ‘Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap.’ Lalu Nabi menjawab, ‘Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (fa yurkhiina dzira`an) dan jangan mereka menambah lagi dari itu.” [HR. At-Tirmidzi, juz III, hal. 47; hadits sahih] (Al-Albani, 2001 : 89).
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi Saw, pakaian luar yang dikenakan wanita di atas pakaian rumah —yaitu jilbab— telah diulurkan sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki.
Berarti jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab kalau potongan, tidak bisa terulur sampai bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian potongan seorang wanita muslimah dianggap belum melaksanakan perintah “[/i]yudniina ‘alaihinna min jalaabibihina[/i]” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya). Di samping itu kata min dalam ayat tersebut bukan min lit tab’idh (yang menunjukkan arti sebagian) tapi merupakan min lil bayan (menunjukkan penjelasan jenis). Jadi artinya bukanlah “Hendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbab-jilbab mereka” (sehingga boleh potongan), melainkan Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka (sehingga jilbab harus terusan) (An-Nabhani, 1990 : 45-51).
3. Penutup
Dari penjelasan di atas jelas bahwa wanita dalam kehidupan umum wajib mengenakan baju terusan yang longgar yang terulur sampai ke bawah yang dikenakan di atas baju rumah mereka. Itulah yang disebut dengan jilbab dalam al-Qur’an.
Jika seorang wanita muslimah keluar rumah tanpa mengenakan jilbab seperti itu, dia telah berdosa, meskipun dia sudah menutup auratnya. Sebab mengenakan baju yang longgar yang terulur sampai bawah adalah fardlu hukumnya. Dan setiap pelanggaran terhadap yang fardlu dengan sendirinya adalah suatu penyimpangan dari syariat Islam di mana pelakunya dipandang berdosa di sisi Allah. [M. Shiddiq al-Jawi]
PAKAIAN ADALAH IBADAH
Soalan:
Alhamdulillah, dengan usaha pihak tertentu pakaian seragam (uniform) polis wanita dan jururawat telahpun menutup aurat. Bagaimanapun masih ada lagi yang belum mengikut jejak langkah mereka. Apa pendapat dan saranan Pehin dalam hal ini?
Jawapan:
Pakaian itu ada hubungannya dengan ibadat seperti ibadat dalam sembahyang di mana diwajibkan menutup aurat. Sebenarnya pakaian itu sendiri adalah ibadat kerana ia termasuk dalam suruhan agama yang ada nilai pahala dan dosa, kerana itu orang Islam yang menutup auratnya ianya telah mematuhi dan mentaati tuntutan dan suruhan agamanya. Menutup aurat itu ada had dan ketentuan dalam sembahyang dan di luar sembahyang.
Pakaian itu sebenarnya gambaran zahir keperibadian seseorang. Pengaruh pakaian dapat dilihat seperti, ahli perniagaan untuk mereka dapat mengaut keuntungan ialah dengan mempermodelkan atau menunjukkan fesyen pakaian yang akan diharapkan dapat menjadi tarikan atau pengaruh untuk dibeli oleh pengguna-pengguna.
Pengaruh pakaian ini amatlah jelas. Sebab itu pereka fesyen pakaian akan sentiasa merubah corak-corak fesyen pakaian itu dari masa ke semasa, khususnya pakaian perempuan. Tetapi sayang, fesyen pakaian perempuan hari ini banyak yang tidak memenuhi kehendak Islam.
Jika pakaian yang dipakai oleh perempuan-perempuan Islam itu tidak memenuhi kehendak-kehendak Islam, maka ia menggambarkan sejauh mana kekukuhan aqidahnya. Pakaian itu mempunyai hubungkait dengan ketaqwaan. Firman Allah:
Tafsirnya: “Dan pakaian taqwa adalah yang lebih baik.”
(Surah Al-A‘râf: 26)
Dari segi yang lain, apabila seorang perempuan yang memakai pakaian menunjukkan susuk badannya atau pakaian yang mengghairahkan lelaki yang memandangnya mungkin akan berbuat serong, lebih-lebih lagi jika perempuan ini berjalan bersendirian dalam keadaan di mana orang berkesempatan membuat jahat terhadapnya. Jadi pakaian dapat mempengaruhi jiwa seseorang perempuan dan orang lain akan membuat perhitungan terhadap pakaian yang dipakai oleh perempuan itu dengan cara meniru atau sebagainya.
Pakaian mempunyai hubungan dengan ibadat, malah menjadi gambaran bagi aqidah dan akhlak pemakainya. Jika demikian halnya, pakaian perempuan Islam tidak boleh diabaikan. Dan tiada satu mazhabpun yang tidak mewajibkan menutup aurat atau mengharuskan pendedahannya, termasuk rambut, leher tengkok, dada dan betis sehingga ke tapak kaki perempuan di hadapan lelaki asing yang bukan mahramnya. Hukumnya jelas melalui sumber al-Qur’an dan hadis sebagaimana akan datang keterangannya. Di bawah ini disebutkan panduan atau garis pandu mengenai pakaian-pakaian perempuan Islam:
(i) Hendaklah pakaian itu menutup seluruh badan termasuk kepala, rambut, leher, dada, lengan, dan betis dari anggota perempuan itu. Bahkan wajib menutup tapak kakinya melainkan di dalam keadaan darurat seperti banjir, atau keadaan lecak atau berlumpur atau seumpamanya. Tidak wajib ditutup muka dan dua tapak tangan dari hadapan belakang sehingga dua pergelanggan tangan sahaja yang boleh nampak. Ini adalah dalam keadaan biasa. Adapun dalam keadaan yang boleh mendatangkan fitnah atau keadaan keganasan, maka wajib ditutup seluruh anggota tubuh badannya. Tidak menutup anggota badan adalah dilaknat oleh Allah Ta‘ala dan dosa besar yang wajib dielakkan.
(ii) Hendaklah pakaian itu tebal yang menutup seluruh tubuh badan perempuan supaya tiadak nampak warna kulit dari celah-celah sulaman benang pakaian itu.
(iii) Hendaklah pakaian perempuan itu luas, lebar tidak sempit dan tidak ketat yang boleh menampakkan segi-segi susuk badan perempuan. Pakaian yang ketat itu ialah seperti menampakkan susuk buah dada dan punggung dan lain-lain segi anggota yang mendatangkan fitnah atau keinginan syahwat.
(iv) Jangan pakaian itu menyerupai atau seakan-akan pakaian lelaki, kerana adalah haram dan dosa besar perempuan memakai pakaian yang serupa dan seakan-akan dengan lelaki.
(v) Jangan pakaian itu wangi atau harum, kerana wangi atau harum itu membawa fitnah dan kerosakan yang boleh membangkitkan nafsu dan perhatian orang dan kejahatan yang wajib dihindarkan oleh perempuan-perempuan. Memakai pakaian yang berwangi atau harum itu adalah dosa besar sekalipun dibenarkan oleh suami.
(vi) Jangan pakaian itu berhias, kerana pakaian yang berhias itu menarik pandangan orang dan membawa fitnah dan kerosakan kepada perempuan dan kepada yang memandang itu. Orang-orang Bani Isra’il Yahudi telah dilaknat oleh Allah Ta‘ala kerana mereka membiarkan perempuan-perempuan mereka keluar rumah, ke masjid, ke pasar dan ke kedai-kedai dengan berhias dan bergaya.
(vii) Jangan pakaian itu bermegah-megah dan menunjuk-nunjuk kerana itu perbuatan takabbur dan ‘ujub yakni merasa tinggi diri, Ia adalah dosa besar.
Firman Allah Ta‘ala:
Tafsirnya: “Jangan kamu perempuan-perempuan Islam berkelakuan dengan terdedah sebagaimana terdedah perempuan-perempuan sebelum zaman Islam, (dengan menampakkan kejelitaan perempuan kepada lelaki asing dan menampakkan perhiasan-perhiasan mereka).”
(Surah Al-Ahzâb: 33)
Firman Allah Ta‘ala:
Tafsirnya: “Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman supaya menyekat pandangan mereka (daripada memandang yang haram), dan memelihara kehormatan mereka, dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka kecuali yang zahir daripadanya, dan hendaklah mereka menutup belahan leher bajunya dengan tudung kepala mereka, dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka melainkan kepada suami mereka, atau bapa mereka, atau bapa mertua mereka, atau anak-anak mereka, atau anak-anak tiri mereka, atau saudara-saudara mereka, atau anak bagi saudara-saudara mereka yang lelaki, atau anak bagi saudara-saudara mereka yang perempuan, atau perempuan-perempuan Islam, atau hamba-hamba mereka, atau orang gaji dari orang-orang lelaki yang telah tua dan tidak berkeinginan kepada perempuan, atau kanak-kanak yang belum mengerti lagi tentang aurat perempuan, dan janganlah mereka menghentakkan kaki untuk diketahui orang akan apa yang tersembunyi dari perhiasan mereka, dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, supaya kamu berjaya.”
(Surah Al-Nûr: 31)
Nabi Salallahu ‘alahi wasallam bersabda diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lain ulama bermaksud :
“Dua macam orang ahli neraka, saya (Rasulullah) belum lihat (pada zaman Baginda), satu iaitu kumpulan orang memegang cemeti seakan-akan ekor lembu, mereka membelasah orang dengan cemeti itu (seperti pegawai-pegawai keselamatan yang zalim membelasah manusia). Dua iaitu perempuan memakai pakaian tetapi mereka bertelanjang (pakaian nipis dan menampakkan segala kejelitaan badan dan tiada menutup segala anggota badan) dan berjalan dengan bergaya dan sombong dan menunjuk-nunjuk dan menggerak-gerakkan bahu dan mengikat kepala dengan perca kain supaya nampak besar kepala dan jelita, tiadalah perempuan-perempuan itu masuk syurga, dan tiada mencium bau syurga dan bau syurga itu boleh didapati dari jauh begini dan begini.”
(Hadis riwayat Muslim)
Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya dan al-Hakim mengatakan hadis ini mengikut syarat-syarat Imam Bukhari dan Muslim iaitu hadis daripada sahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash berkata: “Saya mendengar Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Maksudnya: “Akan berlaku pada akhir zaman pada umat saya, oleh lelaki menaiki pelana-pelana unta seperti rumah-rumah kenaikkan yang ada ditaruh di belakang unta (ertinya motokar), tuan punya pelana besar-besar itu (tuan motokar) turun masuk masjid (sembahyang di masjid dan motokar itu menunggu di pintu masjid) isteri-isteri mereka memakai pakaian dan bertelanjang (pakaian yang menampakkan badan dan anggota perempuan) dan di atas kepala mereka ada topi atau dibesar-besarkan ikatan rambut kepala mereka, seperti bonggol di atas bahu unta, maka hendaklah kamu laknatkan mereka, kerana bahawa mereka (perempuan-perempuan) itu sentiasa kena laknat.”
Apabila orang perempuan sama ada perempuan-perempuan Islam atau bukan tidak menutup aurat mereka, maka satu kemungkaran telah berlaku dalam masyarakat. Kemungkaran itu jika tidak dicegah dan dihentikan akan menjadi sebab turunnya bala bencana daripada Allah.
Kerana itu satu daripada kewajipan umat Islam supaya dapat menegakkan agamanya ialah dengan menghuraikan tuntutan al-amru bi al-ma‘rûf wa al-nahyu ‘an al-munkar. Al-amru bi al-ma‘rûf (menyuruh berbuat baik) dan al-nahyu ‘an al-munkar (menegah daripada berbuat jahat) itu di antara syi‘ar-syi‘ar agama yang utama dan kewajipan ke atas kaum muslimin. Allah Subhanahu wata’ala telah memerintahkan kita berbuat baik dan melarang kita dari berbuat jahat dalam kitabNya yang mulia. Dan melalui NabiNya Sallallahu ‘alaihi wasallam sambil menggalakkan kita untuk memberikan perhatian terhadapnya dan mengancam kita yang mencuaikan tugas besar yang mulia ini.
Di dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menerangkan tentang kepentingan al-amru bi al-ma‘rûf wa al-nahyu ‘an al-munkar itu. Di antaranya ialah:
Firman Allah Ta‘ala:
Tafsirnya: “Allah telah meletakkan laknatNya ke atas orang kafir daripada kaum Bani Isra’il atas lisan (lidah) Nabi Daud dan Nabi Isa bin Maryam. Yang demikian disebabkan mereka menderhaka dan sering melanggar batas. Mereka itu selalunya tiada larang melarang terhadap kejahatan yang mereka lakukan. Alangkah buruknya perilaku yang mereka lakukan itu.”
(Surah Al-Mâ’idah: 78-79)
Sementara hadis-hadis Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam pula menyebutkan yang maksudnya: “Siapa yang menyaksikan sesuatu mungkar, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya, jika tidak berkuasa, maka dengan lisannya, jika tiada berkuasa juga, maka dengan hatinya dan yang demikian adalah selemah-lemah iman.”
(Hadis riwayat Ahmad)
Sabdanya lagi bermaksud : “Wahai sekalian manusia! Hendaklah kamu menyuruh berbuat baik, melarang berbuat jahat sebelum kamu memohon Allah, lalu tidak dikabulkan kamu dan sebelum kamu meminta ampun daripadaNya, lalu tiada diampuni kamu.”
Sesungguhnya menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat jahat itu tidak menolak rezeki atau mendekatkan ajal, dan sesungguhnya para pendeta dari kaum Yahudi serta para rahib (paderi) daripada kaum Nasrani, apabila mereka meninggalkan menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat jahat, maka Allah Ta‘ala telah melaknati mereka atas lisan nabi-nabi mereka, lalu sesudah itu bermacam-macam balapun turun ke atas mereka sekalian.
Dalam perkara pakaian seragam perempuan yang tidak menutup aurat itu adalah menjadi tanggungjawab kepada pihak berkenaan khasnya di Jabatan yang mempunyai hubungan langsung dengan pakaian seragam itu supaya akan dapat membetulkan selaras dengan tuntutan syara‘.
Jangan Tinggalkan Syi‘ar Yang Mulia Ini
Tugas menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat jahat itu tidak boleh diabaikan sama sekali dan tidak ada alasan apapun untuk meninggalkannya, selama berkuasa dan berkebolehan untuk menjalankan. Siapa yang melalaikan atau mencuaikannnya, dianggap sebagai orang yang memandang ringan terhadap hak-hak Allah Ta‘ala dan tiada menghormati perintah Allah Ta‘ala. Sebab itulah dia dicap sebagai orang yang lemah imannya, kurang takut dan malu terhadap Allah Subhanahu wata’ala.
Tetapi jika dia berdiam diri kerana sesuatu tujuan keduniaan, maka dengan itu dosanya akan menjadi lebih berat dan dia akan terdedah kepada kemurkaan dan kutukan Allah Ta‘ala, disebabkan tidak menegur mungkar atau perbuatan jahat itu.
Membetulkan perkara mungkar bukan sahaja berdasarkan tuntutan ayat atau hadis di atas, tetapi juga didasari perintah umum. Sabda Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam:
Maksudnya: “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu adalah bertanggungjawab terhadap rakyatnya.”
(Hadis riwayat Bukhari dan Muslim)
Umumnya pakaian itu bukan sahaja berhubungkait dengan hukum haram atau tidaknya bagi pemakainya, bahkan dapat memberikan imej atau gambaran mengenai bentuk masyarakat atau negara yang mengamalkan sesuatu pakaian itu.
Perlaksanaan hukum Islam bagi sesebuah negara Islam boleh diukur melalui berbagai-bagai sudut. Pakaian boleh menjadi salah satu ciri penting, sejauh mana perlaksanaan hukum Islam itu berjalan. Oleh kerana itu adalah menjadi tanggungjawab kita bersama dalam merubah mana-mana perkara atau corak hidup supaya selaras dengan hukum syara‘.
0 komentar:
Posting Komentar