Rabu, 23 November 2011

Aqidah Ahlussunah dalam Ilmu Ushuluddin

bis2

AQIDAH AHLUSSUNNAH DALAM ILMU USHULUDDIN

A. Latar Belakang Sejarah Ahlussunah

Kemunculan I’tiqad Ahlussunah merupakan jawaban terhadap gejolak yang tumbuh dari berbagai paham keagamaan, antara lain paham Mu’tazilah yang mendapat dukungan dari tiga khalifah Abbasiyah pada abad ke-3 H. yaitu al-Makmun bin Harun al-Rasyid (198-218 H/813-833 M). Al-Muktashim (218-227 H/833-842 M). dan Al-Watsiq (227-232 H/842-847 M). Pada pemerintahan al-Makmun paham ini dijadikan paham resmi negara. Karena paham Mu’tazilah telah menjadi paham resmi negara, maka kaum Mu’tazilah mulai menyebarkan ajarannya dengan cara paksa, hal ini sampai berlanjut pada pemaksaan paham aliran melalui jalur kekuasaan.

Setelah Al-Makmun meninggal dunia pada tahun 833 M. Paham aliran Mu’tazilah ini menjadi surut, kemudian pemerintahan Abasyiah dipimpin oleh al-Mutawakil. Pada pemerintahan al-Mutawakil paham Mu’tazilah mulai tidak berlaku.

Orang-orang Mu’tazilah ini pada mulanya adalah kaum Syiah yang patah semangat, karena menyerahnya khalifah Hasan bin Ali bin Abi Thalib kepada khalifah Muawiyah dari Bani Umayah pada tahun 40 H.

Paham Mu’tazilah yang biasa dikenal sebagai paham rasional dan liberal ini (lebih mengedepankan akal dan kebebasan) biasanya dalam melahirkan fatwa, lebih memilih jalur mendahulukan akal dari pada al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam arti lain, paham ini tidak menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama secara mutlak.

Sebagian orang Mu’tazilah menolak kebenaran al-Qur’an dan al-Hadits. Jika tidak dapat diterima oleh akal sehat. Misalnya, mereka tidak menerima bahwa Rasulullah SAW. Melakukan Isra’ Mi’raj dengan jasadnya. Paham ini juga dikenal sebagai penganut paham Qodariyah atau paham yang mengajarkan ajaran free will, free act (bebas berkehendak dan berbuat).

Gerakan Mu’tazilah muncul di Basyrah (Irak) yang dipimpin oleh Wasil bin Atho’ (80-131 H) dan Umar bin Ubaid (w. 144 H). Pada permulaan abad ke-3 Mu’tazilah muncul di Baghdad (Irak) yang dipelopori oleh Basyar bin Muktamar. Basyar merupakan salah satu pimpinan Mu’tazilah di Basyrah yang pindah ke Baghdad.

Seperti disebutkan di atas Mu’tazilah pernah memaksakan paham alirannya. Kasus ini terjadi pada penyiksaan ulama penganut Madzab Syafi’i diantarnya, penyiksaan Syaikh Buathi, Pemenggalan leher Imam Ahmad bin Nashir al-Khuza’I; penyiksaan Imam Ahmad bin Hanbal (Pendiri Mazhab Hanbali) dipenjarakan dan dicambuk, Isa bin Dinar dipenjarakan selama 20 tahun; Imam Bukhari lari karena menghindari fitnah dan kejaran penguasa Mu’tazilah. Peristiwa tersebut tercatat dalam sejarah sebagai “Tragedi Qur’an Mahluk”.

Menghadapi tantangan yang sangat menggoncangkan sendi-sendi I’tiqad Islam, maka lahirlah dua ulama dalam bidang Ushuluddin bernama Syaih Abu Hasan Al Asy-ari (260 H/935 M) di Basyrah (Irak) dan Syaih Abu Mansur al-Maturidi (238 H/852 M.) lahir di Maturid, dekat Samarkand (Asia Tengah).

Kemudian dua tokoh inilah yang dikenal sebagai pembangun Paham Ahlussunah. Dengan ajarannya yang lebih mengedepankan dalil naqli daripada dalil aqli. Paham inilah yang kemudian merespon (mencoba meluruskan) bentuk pemahaman aliran-aliran pada waktu itu.


DASAR-DASAR AKIDAH AHLUSSUNAH

1. Ilmu Ushuluddin

a. Pengertian Ilmu Ushuluddin

Ilmu Ushuluddin atau biasa disebut sebagai Ilmu Kalam, Ilmu Tauhid, Ilmu ‘Aqaid, Ilmu Sifat Dua Puluh, Theologi. Apapun istilah yang dipakai untuk ilmu ini, maksud dan tujuannya tetap sama yaitu, ilmu yang mempelajari tentang dasar-dasar keyakinan agama Islam (iman), dan segala hal yang berhubungan dengan iman, diantaranya sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah, dan sifat wajib jaiz, mustahil bagi para Rasul dan lain-lain.

b. Menfaat Mempelajari Ilmu Ushuluddin

Sesuai hukum akal sehat, mendalami segala sesuatu yang berupa ilmu, pasti akan menimbulkan hukum manfaat. Demikian juga dengan ilmu Ushuluddin, mempelajari ilmu ini, akan memberi manfaat kepada kita berupa:
Pertama, akan membuahkan keyakinan yang mendalam terhadap Allah SWT, sehingga dapat membebaskan manusia dari belenggu materi yang melalaikan, misalnya penyembahan terhadap kekuasaan, uang dan lain-lain. Membebaskan belenggu praktek kepercayaan yang menyesatkan. Seperti praktek sesajen yang diperuntukkan kepada ruh-ruh yang diyakininya.

Kedua, dengan keyakinan yang mendalam, akan mendorong kita melakukan kebaikan dan menjauhi larangan. Misalnya, mengerjakan amal ibadah, karena kita yakin akan adanya hari pembalasan.

2. Iman

a. Pengertian Iman

Iman secara bahasa (lughat) berasal dari bahasa Arab dari kata dasar (Madly) aamana, yang mengambil bentuk masdar iimaanan yang berarti, membenarkan dan mempercayakan. Iman secara Istilah berarti, percaya sepenuh hati kepada semua yang telah disampaikan oleh para Rasulullah, yang berupa hukum, perintah, larangan, khabar dan janji.

b. Kategori Iman

Iman sebagai bentuk keyakinan yang tulus tidak hanya terbatas kepada keyakinan kepada Tuhan semata, tetapi iman merupakan bentuk keyakinan yang meliputi sebagai berikut:

1. Keyakinan terhadap Tuhan yang Esa dengan beberapa kesempurnaan sifat-Nya, keyakinan ini biasa disebut sebagai I’tiqad Ilahiyyat (I’tiqad Uluhiyyat).

2. Keyakinan yang berhubungan dengan kenabian biasanya disebut sebagai I’tiqad Nubuwwiyat (I’tiqad Nubuwwat).

3. Keyakinan yang berhubungan dengan Alam Ghaib (metaphysic) disebut sebagai I’tiqad Ghaibaat.

c. Syarat Sahnya Iman

Adapun syarat sahnya iman dalam ajaran Ahlussunah, dikenal sebagai penyerahan dengan ketulusan hati terhadap segala ketentuan hukum Allah SWT.

d. Batalnya Iman

Pertama, akan membebaskan manusia dari belenggu materi yang melalaikan dan Membebaskan belenggu praktek kepercayaan yang menyesatkan. Seperti kepercayaan animisme, dinamisme, totemisme dan lain-lain.

Kedua, dengan keyakinan yang mendalam, akan mendorong kita melakukan kebaikan dan menjauhi larangan, Misalnya, mengerjakan amal ibadah, karena keyakinan akan adanya hari pembalasan.

e. Rukun Iman

Di antara ajaran akidah Ahlussunah yang berhubungan dengan keyakinan (iman) digariskan dalam 6 rukun diantaranya:

1. Iman kepada Allah

2. Iman kepada Malaikat-malaikat Allah

3. Iman kepada Kitab-kitab Allah

4. Iman kepada Utusan-utusan Allah

5. Iman kepada Hari Kiamat

6. Iman Kepada Qadla dan Qadar Allah.

Beberapa Rukun Iman di atas didasarkan kepada Hadis Nabi Muhammad SAW:

“Maka beritahulah kami (ya Rasulullah) mengenai iman. Nabi menjawab: engkau mesti percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Hari Akhir (Qiamat) dan Qadar (nasib baik dan buruk dari Allah)”. (HR. Imam Muslim).

1. Iman Kepada Allah

Iman kepada Allah, merupakan dasar keyakinan absolut (mutlak) bagi kehidupan setiap muslim. Dengan percaya dan yakin kepada Allah swt. Kita akan selalu percaya diri dalam berpijak, karena kita merasa dinangi dalam limpahan kasih-sayang-Nya. Serta kita tidak merasa sombong dengan hasil-hasil yang kita usahakan, karena semuanya tidak terlepas dari limpahan Rahmat-Nya. Adapun bentuk iman kepada Allah kita mesti:

a. Mengakui Adanya Allah

b. Mengakui ke-Esaan Allah

c. Mengakui ke-Sempurnaan Allah

Menyakini adanya Allah dengan segala sifat kesempurnaan-Nya, dapat kita buktikan dengan melihat alam seisinya. Tak mungkin keberagaman alam terwujud dengan sendirinya tanpa ada yang mewujud-kan, dan satu-satunya yang mewujudkan adalah Allah. Jadi keberadaan alam semesta ini menunjukkan kepada keberadaan alam semesta ini menunjukan kepada keberadaan Allah. (Ri’ayatul Himmat: Kor. 5).

Sumber: H. Ahmad Syadzirin, Ilmu Ushuluddin, Yayasan Badan Wakaf Rifaiyah.

Sumber:tanbihun.com/usulidin/aqidah-ahlussunah-dalam-ilmu-ushuluddin/


0 komentar:

Posting Komentar

Daftar ke PayPal dan mulai terima pembayaran kartu kredit secara instan.
Bookmark and Share
Dari Suhaib ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mu'min: Yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya." (HR. Muslim)