Saat
kita melihat film drama, biasanya ada adegan dimana ada seseorang yang
sedang ‘galau’ terhadap masalah percintaannya, entah apakah itu di pihak
cowok atau ceweknya. Pastinya ia tidak sedang sendiri, tetapi
bersamanya ada seorang teman yang akan menasehatinya dan berkata,
“Percayalah pada kata hatimu…” Aku yakin kita sering melihat film
seperti itu. Dan bahkan kita adalah orang yang sangat mempercayai
perihal mempercayai kata hati tersebut.
Namun benarkah demikian? Apa kebenarannya? Suatu
saat, waktu sedang merenung, aku mendapatkan bahwa ternyata tidak semua
kata hati harus diikuti. Mengapa demikian? Jika memang semua kata hati
selalu benar, maka Amsal 4:23 tidak akan berkata,
Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.
Kata hati di sana berasal dari kata leb,
yang kira-kira berarti perasaan, keinginan dan pikiran. Jikalau hati
kita memang selalu benar, maka kita tidak perlu menjaganya. Bahkan Amsal
berkata harus menjaga dengan segala kewaspadaan. Jadi lebih tepatnya,
hati kita sebenarnya sangat mudah tertipu. Mari kita lihat Kejadian 3:6,
sebuah proses penipuan pertama yang tercatat.
Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian…
Dikatakan pohon itu menarik hati. Kata yang digunakan adalah chamad,
yang artinya enak untuk dinikmati. Seringkali yang membuat hati kita
salah bereaksi adalah karena kita sudah memiliki keinginan terlebih
dahulu sebelum bertanya kepada hati kita. Sehingga akhirnya posisi hati
kita sudah berat sebelah. Misalnya, pada kasus seseorang yang sedang
menyukai lawan jenisnya. Sangat rentan bagi dia untuk salah mendengar
kata hati. Kecuali dia benar-benar mampu membuat hatinya seimbang dan
aku sendiri tidak menyarankan untuk mencoba menyeimbangkan hati, karena
biasanya tetap akan gagal.
Lalu bagaimana? Satu hal yang aku
sadari, hanya ada satu patokan yang dapat benar-benar dipercaya, yaitu
firman Tuhan. Sebagai contoh dalam kasus hati yang tertuduh. Aku pernah
mendengar siaran radio dimana sang pembicara sedang berbagi tentang
pengalaman hidupnya. Dia mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang
sangat supel dan cenderung ceplas-ceplos dalam berbicara, sehingga
kadang secara tidak sadar suka menghina temannya dalam gurauannya.
Suatu saat dia merasa tertegur dan itu membuat dirinya tidak damai sejahtera dan akhirnya susah merasakan Tuhan
pada saat teduhnya. Apakah kita pernah merasa demikian? Aku pernah! Dan
aku ingin berkata bahwa ada yang secara terselubung tidak benar dalam
pemikiran tersebut. Mengapa? Seharusnya sejak Yesus menebus dosa kita,
tidak ada satupun hal yang dapat memisahkan diri kita dari Tuhan.
Jikalau dengan suatu perbuatan, itu membuat kita terpisah dari Tuhan,
maka pengorbananNya sia-sia.
Roma 8:35-37 berkata bahwa tidak ada
satupun yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus. Bahkan kita
sekarang sudah dijadikan lebih dari pemenang. Artinya, tidak ada satupun
lawan kita yang memiliki kuasa untuk membuat kita terpisah dariNya.
Tentu saja kecuali diri kita sendiri. Jadi kalau kita sampai tidak bisa
merasakan hadirat Tuhan, pastinya itu bukan kemauan Tuhan atau dosa
kita, tetapi karena pola pikir kita yang salah. Ibrani 10:22 berkata,
Karena itu marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni.
Ternyata tidak semua kata hati tersebut
baik. Ada hati nurani yang jahat yang harusnya sudah dibersihkan saat
kita ditebus. Tetapi sama seperti Hawa dapat tertipu, kita juga bisa
tertipu. Oleh karena itu, hanya satu cara untuk membuat kita tidak mudah
tertipu, yaitu ketahuilah firman Tuhan. Jika kita ingin mempercayai
hati kita, maka carilah apa kata firman Tuhan tentang hal tersebut.
Aku pun mungkin termasuk orang yang
masih mempercayai kata hati. Ada banyak hal di luar pemikiran manusia
yang kadang aku selesaikan atau putuskan hanya berdasarkan sebuah
‘insting’. Tuhan telah memberikan kepada kita sebuah alat berupa hati
bukan tanpa sebab. Dengan hati, kita bisa mengasihi, Tuhan dan sesama.
Itulah tujuan utamanya. Hati selalu diciptakan untuk pihak lain, bukan
diri sendiri. Masalahnya, saat kita menggunakannya untuk kepentingan
diri sendiri, maka kita harus berhati-hati, seperti kata Amsal.
(Gambar dari blogspot.com)
Sumber:blog.leipzic.com/2012/10/10/mempercayai-kata-hati-benarkah/
Sumber:blog.leipzic.com/2012/10/10/mempercayai-kata-hati-benarkah/
0 komentar:
Posting Komentar